LM-Serbuan baju impor asal China masih merajai pasar Indonesia. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, porsi baju impor asal China di pasar domestik menguasai 80% pasar garmen Tanah Air.
Tahun 2019, impor pakaian jadi asal China tercatat sebanyak 64,66 ribu ton dengan nilai US$431,40 juta. Tahun 2020, impor baju dari China sebanyak 51,79 ribu ton dengan nilai mencapai US$343,02 juta.
Dan, pada tahun 2021, baju asal China yang masuk ke Indonesia naik menjadi 57,11 ribu ton dengan nilai sebesar US$324,61 juta.
Dengan importasi sebesar itu, pangsa pasar baju impor asal China di dalam negeri terus mendominasi.
API mencatat, secara volume, pangsa pasar pakaian jadi atau garmen asal China di Indonesia mencapai 79,30% pada tahun 2019.
Angka itu naik menjadi 80,99% pada tahun 2020 dan turun tipis menjadi 80,66% tahun 2021.
Secara nilai, impor pakaian jadi asal China menguasai hingga 51,03% pasar domestik tahun 2019. Melonjak menjadi 54,68% tahun 2020 dan sedikit terpangkas menjadi 50,91% tahun 2021
Koreksi tipis pangsa pasar China di pasar garmen domestik bukan juga akibat perbaikan industri lokal. Namun, karena porsi tersebut direbut baju impor dari negara lain. Yakni, Bangladesh dan Vietnam.
Menurut data API, secara volume, pangsa pasar baju impor asal Bangladesh tahun 2021 naik menjadi 5,12% dari tahun 2020 yang 4,59%.
Dan, baju impor asal Vietnam menguasai 2,57% pasar domestik tahun 2020 dan naik jadi 2,85% tahun 2021.
“Eksportir pakaian jadi dunia itu nomor satu China, nomor 2 Bangladesh, nomor 3 Vietnam. Bea masuk dari China nol persen, dan saat ini dari Bangladesh 20 – 25% tergantung kode HS,” kata Ketua Umum API Jeremy Kartiwa Sastraatmaja kepada CNBC Indonesia, Sabtu (12/3/2022).
Menurutnya, serbuan baju impor asal China ke pasar domestik bisa naik terus.
“Kalau tidak ada kendali bisa terjadi (kenaikan impor baju asal China). Apalagi, China memang terkenal murah. Sesuai dengan daya beli konsumen domestik,” kata Jeremy.
Sekjen Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) Lely Fitriyani mengatakan, saat ini daya beli di dalam negeri sedang menurun. Akibatnya, konsumen yang tadinya mampu membeli baju Rp1 juta, jadinya hanya mampu beli Rp300 ribu.
“Tapi, konsumen tetap ingin kualitas bagus. Barang Rp300 ribu buatan China bagus. Pasar kami tentu tergerus. Sementara, kelas atas sekali, cenderung masih suka beli barang branded di pasar luar negeri,” kata Lely kepada CNBC Indonesia, Sabtu (12/3/2022).
Industri di dalam negeri, kata Lely, tidak diproteksi oleh pemerintah. Belum lagi, imbuh dia, dukungan perbankan untuk UKM fesyen/ garmen lokal masih kecil.
“Kami ingin dibantu untuk membuka pasar baru ke negeri-negeri yang menyukai produk kami. APPMI saat ini juga sedang berupaya mandiri membangun pasar di dalam negeri melalui event Indonesia Fashion Week pada 13 – 17 April nanti di JCC,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Lely, pihaknya sangat memerlukan dukungan pemerintah termasuk perbankan nasional.
“Terutama dari bank BUMN yang masih minim penyaluran kredit terhadap sektor kami,” kata Lely(CNBC Indonesia)