“Kami Minta Siapapun yang Jadi Presiden, Rakyat Bisa Makan Tiga Kali Sehari”

antrean beli bensin di sri lanka. ©Reuters

LM – Sebelum ekonomi Sri Lanka runtuh, Nazir (50) sehari-sehari bekerja sebagai buruh angkut di pasar Pettah, Kolombo. Di hari panas terik, dia mengangkut gerobak yang penuh gulungan kain, tumpukan kelapa dan karung bawang putih.

Sekarang, Nazir hanya duduk di depan puluhan gerobak kosong, mendengar pidato di ponselnya. Dia memperbesar volumenya dan menunjuk ke layar: “Aragalaya!,” mengacu pada pemberontakan rakyat Sri Lanka yang menggulingkan presidennya pekan lalu.

Saat keadaan masih baik-baik saja, pendapatan Nazir sekitar Rp 120.000 per hari dan itu cukup untuk menafkahi keluarganya.

“Sekarang usaha pada mati,” cetusnya, dikutip dari laman Financial Times, Kamis (21/7).

Jika dia tidak dapat pekerjaan hari ini, dia akan pulang dengan membawa uang kurang dari Rp 15 ribu di dompetnya.

Nazir mengatakan terkadang keluarganya tidak bisa makan dan terkadang makanan seadanya harus dibagi bersama-sama.

“Saat makan malam, kami membagi beberapa roti dengan sambal kelapa. Saya menggunakan tungku untuk memasak karena tidak ada bahan bakar dan minyak tanah,” ujarnya.

Sri Lanka dilanda krisis terburuk dalam 70 tahun terakhir. Negara ini mengalami kelangkaan bahan bakar, makanan, dan obat-obatan. Cadangan devisa menipis. Utang luar negeri semakin tinggi.

Mantan Presiden Gotabaya Rajapaksa disalahkan atas memburuknya situasi. Sebelum mengundurkan diri, Gotabaya kabur ke Maladewa lalu ke Singapura pekan lalu.

Pasar Pettah, yang dulunya merupakan lorong penuh butik pakaian dan toko yang menjual segala sesuatu mulai dari elektronik terbaru dan cairan pencuci piring hingga rempah-rempah dan kopi.

Loading