LM – Seorang bocah kelas V sekolah dasar (SD) di Kabupaten Tasikmalaya meninggal dunia, diduga usai mengalami depresi karena menjadi korban perundungan teman sebayanya. Aksi perundungan dilakukan secara fisik dan psikis.
Korban yang masih berusia 11 tahun itu, diketahui mendapatkan perlakukan kasar dari teman sebayanya. Tidak hanya itu saja, korban juga dipaksa oleh terduga para pelaku untuk menyetubuhi seekor kucing dan kemudian direkam menggunakan handphone.
Video rekaman tersebut pun rupanya sempat beredar di media sosial. Beredarnya video meruntuhkan benteng pertahanan psikologinya, hingga korban kemudian mengalami depresi. Tidak mau makan dan lainnya.
Keluarga korban yang mengetahui kondisi anaknya, segera membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Namun sayangnya, dalam proses perawatan itu korban meninggal dunia.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya membuat laporan resmi kepada kepolisian terkait kasus itu, Kamis (21/7). Kepolisian pun berjanji untuk menangani kasus tersebut secara profesional.
Kasus perundungan yang terjadi di Tasikmalaya, menjadi salah satu dari rentetan kasus-kasus serupa di Indonesia yang seperti tidak pernah berakhir. Dari rangkaian kasus tersebut, benang merahnya adalah bahwa mereka yang lemah kerap menjadi korban perundungan.
Dokter spesialis kejiwaan, Hayat Amin mengatakan bahwa bahwa fenomena perundungan sudah ada sejak dulu. “Biasanya dilakukan dari orang-orang yang biasanya berkelompok, dan korbannya adalah memilih yang mungkin lemah, secara fisik, penampilan, atau agak pendiam,” kata Hayat saat dihubungi merdeka.com, Jumat (22/7).
Fenomena aksi perundungan pun, dijelaskan Hayat, bisa terjadi di mana saja dan di berbagai tingkat usia bahkan pendidikan. Tidak hanya terjadi di situasi usia sekolah dasar (SD) saja, namun juga di SMP, SMA, bahkan perkuliahan.
Terjadinya fenomena aksi perundungan itu, menurut Hayat, kemungkinan besar diawali dari pertemanan secara kelompok. Dalam proses pertemanan itu, mereka bisa mengakses beberapa hal yang bisa dilihat, didengar secara bersama-sama hingga kemudian muncul rasa ingin mencoba.
“Aksi perundungan akhir-ini ini mungkin dianggap lebih parah, karena dulu tidak ada internet, tidak ada akses untuk melihat dan mendengar. Sekarang, anak-anak itu bisa melihat kekerasan di televisi, sinetron yang ada aksi perundungannya, dan lainnya. Karena anak menonton, jadinya ingin mencoba. Karena ketidaktahuan, namanya juga anak-anak, kurang cara berpikir dampak ke depan seperti apa,” jelas Hayat.
Walau begitu, diungkapkannya, aksi perundungan tidak akan terjadi begitu saja. Bisa saja, semua berawal dari persoalan antara anak dengan orang tua, baik itu pelaku maupun korban perundungan.
“Bisa jadi kan memang aksi perundungan dilakukan di luar sekolah karena mungkin di sekolah tidak berani karena ada guru, akhirnya mereka mencari tempat untuk melaksanakan ide-ide itu. Bisa jadi siswa itu baik di sekolah luar beda, guru dan orang tua harus tahu,” katanya.