Jokowi, Politik Rekonsiliasi dan Misi Perdamaian

Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden Pertemuan empat mata antara Presiden Jokowi dengan Presiden Zelenskyy di Istana Maryinsky, Kyiv.

LM – Safari Presiden Jokowi menemui Presiden Volodymyr Zelenskyy di Kiev Ukraina merupakan bentuk komunikasi politik rekonsiliasi. Pasalnya, pertemuan itu tak bisa dianggap biasa, sebab mempunyai implikasi strategis mengupayakan solusi akhiri perang. Meski, Indonesia tak terlibat langsung dalam pertempuran, tapi ini bentuk kepedulian sebagai negara juru perdamaian.

Presiden Jokowi menjadi kepala negara Asia pertama yang melakukan kunjungan ke Ukraina pasca invasi. Tentu hal itu bukan tanpa resiko, tapi keberanian Jokowi dan upaya Indonesia menengahi perseteruan global patut diapresiasi. Seperti pesan Presiden Jokowi saat bertemu sejumlah petinggi negara dalam perhelatan KTT G7 di Jerman bahwa perang Rusia-Ukraina perlu segera dihentikan. Upaya mengarusutamakan dialog menjadi jalan rekonsiliasi menghadapi tantangan global.

Agenda Politik Rekonsiliasi Jokowi

Perjalanan Presiden Jokowi kunjungan ke Eropa mempunyai dua agenda besar, yakni menguatkan kemitraan global di KTT G7 di satu sisi dan mengusung misi perdamaian Rusia-Ukraiana di sisi lain. Indonesia sebagai pemegang presidensi G20 menjadi episentrum kerja sama dunia untuk meningkatkan sinergi. Apalagi pasca pukulan pandemi, hampir semua negara mendorong pemulihan ekonomi. Namun, tak berarti mengabaikan misi sosial dan kemanusiaan untuk saling peduli.

Pertanyaannya, bagaimana upaya memajukan ekonomi bisa berjalan optimal di tengah instabilitas politik global? Upaya memutus konflik dan memberikan solusi damai adalah bentuk tanggung jawab bersama mengondusifkan suasana. Resiko-resiko seperti krisis pangan, iklim investasi menurun dan berbagai kompleksitas persoalan lain sangat penting diatasi. Hal itu tentu bukan hanya dilimpahkan pada satu atau dua negara, melainkan bersifat kolektif sebagai representasi spirit multilaterisme.

Agenda politik internasional Presiden Jokowi memberi harapan baru. Optimisme untuk merajut kembali persatuan global terus diperjuangkan. Politik bebas aktif yang selama ini menjadi sikap Indonesia diterjemahkan dengan baik. Artinya, tak mau terjebak untuk berkubu dengan menegasikan salah satu negara, juga tak pasif dalam membangun upaya rekonsiliasi. Sebab satu peluru yang menewaskan manusia merdeka itu terlalu berharga dan tak cukup diganti dengan seribu kehidupan tanpa makna.

Baca Juga :  Sosialisasi Paham Radikal di Ponpes Al-Islah, Polres Pamekasan Diadang Massa

Indonesia Simbol Perdamaian 

Misi perdamaian yang diusung Presiden Jokowi menambah daftar panjang sejarah Indonesia sebagai juru rekonsiliasi di mata dunia. Indonesia menjadi mediator untuk mengatasi konflik sebagai bentuk krisis kemanusiaan, seperti konflik perbatasan antara Thailand dengan Kamboja atau Myanmar dengan Rohingnya. Indonesia berusaha terus pro aktif dan tak absen mengurangi ketegangan di antara negara-negara yang saling berselisih.

Terlepas bangsa ini masih mempunyai pekerjaan rumah mengatasi konflik horisontal di dalam negeri, resolusi konflik terus digalakkan menjadi branding as peace promoting nation. Pemosisian Indonesia untuk pro aktif terhadap isu-isu strategis internasional dapat memperkuat bargain position. Indonesia akan terus diperhitungkan sebagai negara yang berpengaruh. Namun jangan sampai keterlibatan tersebut justru menjadi boomerang dan kontraproduktif terhadap ketahanan nasional kita.

Sementara jika dilihat dari perspektif komunikasi politik, sebenarnya upaya mengusung misi perdamaian yang dilakukan oleh Indonesia di forum internasional sangat menguntungkan. Setidaknya ada tiga dampak positif. Pertama, menghilangkan stigma bahwa Indonesia salah satu negara sarang teroris dengan merujuk pada Indeks Terorisme Global. Kedua, mengembalikan spirit toleransi di tengah polarisasi politik yang mengarusutamakan intoleransi dan radikalisme. Ketiga, mendukung program internasional Sustainable Development Goals (SDGs) terutama di poin 16 terkait upaya menciptakan masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan.

Jalan Damai Menuju 2024 

Momentum sebagai juru perdamaian internasional dapat menjadi refleksi di dalam negeri jelang pemilu 2024. Di tengah eskalasi politik yang semakin memanas, potensi pembelahan dan kerawanan sosial juga meningkat. Dalam konteks itu, para aktor politik dan masyarakat perlu didorong menjadi “juru damai” untuk memperkuat kohesi kebangsaan. Pikiran sempit dan kepentingan jangka pendek untuk perebutan kekuasaan dapat dipagari dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  Puan tak Perlu Mundur dari Ketua DPR Jika Maju Capres

Sikap Presiden Jokowi yang rekonsiliatif di panggung internasional perlu direplikasi untuk membangun atmosfer politik yang kondusif. Perbedaan partai, koalisi dan pandangan diletakkan sebagai sebuah keanekaragaman, bukan untuk saling berselisih melainkan adu gagasan membangun kemajuan. Jika atmosfer seperti ini yang dikembangkan, jalan menuju pesta rakyat pemilu 2024 yang damai bukanlah sekedar angan-angan.

Sekali lagi, misi perdamaian yang diusung di tataran global tak boleh berhenti hanya simbolik. Upaya mencari solusi untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina memberi pembelajaran bahwa resiko perpecahan sangat merugikan. Dunia perlu dipulihkan dengan kolaborasi. Sudah saatnya negeri ini tampil menjadi mercusuar peradaban.(Republika.co.id)

Loading

Redaksi2
Author: Redaksi2