LM – Banjir yang melanda enam kecamatan di Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat, telah menimbulkan dampak signifikan bagi lebih dari 20.000 jiwa atau sekitar 6.600 keluarga yang terdampak. Kejadian ini, yang berlangsung sejak 24 November 2023, disebabkan oleh curah hujan tinggi yang mengakibatkan luapan air sungai dan merendam permukiman warga. Meskipun banjir telah menjadi permasalahan klasik di wilayah tersebut, namun dampaknya tetap serius dan memerlukan respons cepat dari pihak berwenang.
Menurut laporan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), keenam kecamatan yang terendam banjir adalah Nanga Tayap, Sandai, Hulu Sungai, Tumbang Titi, Sungai Laur, dan Muara Pawan. Tingginya muka air mencapai 200 sentimeter, memberikan gambaran betapa parahnya situasi yang dihadapi oleh warga di wilayah tersebut.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Ketapang, Yunifar, memastikan bahwa banjir yang terjadi disebabkan oleh hujan deras di daerah hulu. Meskipun demikian, hingga Sabtu, 9 Desember 2023, situasi sudah mulai membaik, dan sebagian besar kecamatan melaporkan penurunan air yang cukup signifikan. Yunifar menyampaikan, “Alhamdulillah sudah 80 bahkan di beberapa lokasi sudah 100 persen surut semua.”
Namun, Yunifar juga mengingatkan bahwa meskipun sebagian besar banjir sudah surut, tetapi cuaca yang tidak menentu bisa menjadi tantangan. “Cuma langit sudah hitam lagi, kalau hulu hujan itu pasti di beberapa kecamatan yang rawan banjir akan tergenang lagi,” ungkap Yunifar. Ketapang telah mengalami naik turun banjir hingga tiga kali dalam waktu yang singkat, menunjukkan kompleksitas dalam menangani situasi ini.
Yunifar menjelaskan bahwa banjir seolah menjadi masalah klasik di wilayahnya. Faktor-faktor seperti semakin banyaknya permukiman di bantaran sungai yang tidak tertib dan akumulasi dampak dari berubahnya fungsi hutan menjadi perkebunan menjadi penyebab utama masalah ini. Perubahan tata guna lahan yang tidak terkontrol mengakibatkan aliran sungai tidak bisa menyerap air dengan baik, yang pada gilirannya memicu banjir.
Pernyataan Yunifar mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh banyak daerah di Indonesia, di mana pemanfaatan lahan tidak terencana dapat meningkatkan risiko bencana alam. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah preventif dan perencanaan tata ruang yang bijaksana untuk mengurangi dampak banjir yang terus-menerus.
BPBD Kabupaten Ketapang tidak tinggal diam menghadapi masalah ini. Dalam mengatasi situasi darurat, pihak berwenang telah menyiagakan personel untuk memonitor setiap wilayah yang rawan banjir dengan berkoordinasi bersama perangkat kecamatan. Selain itu, jika air mulai naik kembali, mereka melakukan penanganan dengan penguraian cepat menggunakan mesin sambil memantau debit air di kawasan sungai.
“Saat ini memang masih berstatus tanggap darurat sejak 24 November sampai tanggal 11 Desember besok,” kata Yunifar. Meskipun banjir sudah surut, BPBD tetap bersiaga dan terus memantau debit air di sungai. Koordinasi dengan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta pemerintah daerah akan dilakukan pada tanggal 11 Desember untuk mengevaluasi situasi dan memutuskan apakah perpanjangan masa tanggap darurat diperlukan.
Menyusul surutnya banjir, BPBD Kabupaten Ketapang akan melanjutkan pendistribusian bantuan yang sempat tertunda. Bantuan tersebut akan dibagikan kepada warga terdampak di 27 desa. Total bantuan yang dibagikan mencakup 60 ton beras, 1.600 mi instan, dan 369 kaleng sarden dengan berat tujuh ton.
Yunifar menjelaskan bahwa pendistribusian bantuan logistik menjadi prioritas setelah surutnya banjir. Sejumlah bantuan sudah didrop di kantor kecamatan dan akan dibantu oleh pihak kecamatan, brimob, dan kodim menggunakan enam armada mobil dan perahu. Hal ini menunjukkan kolaborasi antarinstansi yang kuat untuk membantu masyarakat yang terdampak dan mendukung pemulihan wilayah tersebut.
Dalam kondisi sulit ini, solidaritas masyarakat menjadi kunci untuk membantu warga yang terdampak. Banyak warga setempat, sukarelawan, dan berbagai lembaga kemanusiaan terlibat aktif dalam memberikan bantuan dan dukungan moral kepada mereka yang membutuhkan. Kebersamaan ini menciptakan semangat gotong-royong yang sangat penting dalam menghadapi bencana alam.
Sebagai respons terhadap situasi yang terus berubah, media sosial dan jejaring komunikasi menjadi alat vital untuk menyampaikan informasi terkini, mengkoordinasikan bantuan, dan memobilisasi sumber daya. Informasi yang akurat dan cepat menjadi kunci dalam membantu warga dan memfasilitasi upaya tanggap darurat.
Dalam menghadapi bencana seperti ini, peran pemerintah dan lembaga kemanusiaan sangat krusial. Dibutuhkan koordinasi yang baik antara tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten untuk memastikan respon yang efektif. Selain itu, perlu adanya perencanaan jangka panjang untuk mencegah dan mengurangi risiko bencana di masa mendatang.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memiliki peran penting dalam memberikan bantuan dan koordinasi antarlembaga. Dukungan dari pemerintah pusat sangat dibutuhkan untuk mempercepat pemulihan daerah yang terdampak.
Sementara upaya tanggap darurat sedang berlangsung, pemikiran juga harus difokuskan pada fase pemulihan. Pemulihan pasca-banjir tidak hanya melibatkan perbaikan fisik infrastruktur yang rusak, tetapi juga mendukung psikologis dan sosial masyarakat yang terdampak. Program rehabilitasi dan rekonstruksi harus dirancang dengan cermat untuk memastikan keberlanjutan dan ketahanan terhadap bencana di masa depan.
Situasi ini juga memunculkan pentingnya perencanaan tata kota dan lingkungan yang berkelanjutan. Pembangunan yang tidak terencana dapat meningkatkan risiko bencana dan memperburuk dampaknya. Oleh karena itu, pemerintah setempat perlu memprioritaskan perencanaan tata kota yang berkelanjutan untuk mengurangi risiko bencana dan melindungi warganya.**